Dalam wacana pemikiran filsafat Islam maupun tasawuf,
tidak diragukan lagi bahwa Hujjat al-Islam al-Imam Al-Ghazali (450 H/505 H)
merupakan salah seorang pemikir Islam yang sangat populer.Ia tidak hanya
terkenal dalam dunia Islam, tetapi juga dalam sejarah intelektual manusia pada
umumnya. Pemikiran Al-Ghazali tidak hanya berlaku pada zamannya, tetapi dalam
konteks tertentu mampu menembus dan menjawab pelbagai persoalan kemanusiaan
kontemporer.Di kalangan umat Islam, dia lebih dikenal sebagai tokoh tasawuf dan
filsafat.
Fakta ini tidak mengherankan mengingat puncak mercusuar
pemikirannya, sebagaimana dapat kita lihat dari beberapa karya tulisnya, berada
pada wilayah kajian ini.Meskipun demikian, sebenarnya garapan pemikiran
Al-Ghazali merambah luas ke berbagai cabang keilmuan lainnya, seperti fikih,
ushul fiqh, kalam, etika, bahkan ekonomi. Dengan demikian, Al-Ghazali tidak
hanya lihai berbicara soal filsafat Islam maupun tasawuf, tetapi ia juga piawai
mengulas soal ekonomi, terutama soal etika keuangan Islam.
Muhammad Nejatullah Siddiqi dalam bukunya Reading in
Islamic Economic Though memasukkan nama al-Ghazali ke dalam deretan tokoh
pemikir ekonomi Islam fase kedua bersama-sama dengan Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun
dan tokoh lainnya. Pada fase kedua ini wacana pemikiran ekonomi Islam telah
berkembang secara intensif serta ditandai dengan perubahan dalam struktur
kekuasaan Islam yang semakin luas.
Corak pemikiran ekonomi Islam pada masa ini lebih
diarahkan pada analisis ekonomi mikro dan fungsi uang.Al-Ghazali, misalnya,
banyak menyinggung soal uang, fungsi, serta evolusi penggunaannya.Ia juga
menjelaskan masalah larangan riba dan dampaknya terhadap perekonomian suatu
bangsa.
Secara tidak langsung, ia membahas masalah timbangan,
pengawasan harga (at-tas’is atau intervensi), penentuan pajak dalam kondisi
tertentu atau darurat. Ia juga berbicara mengenai bagaimana mengatasi dampak
dari kenaikan harga, apakah dengan mekanisme pasar atau dengan intervensi
pemerintah dan lain-lain.
Bernand Lewis (1993) menegaskan bahwa konsep keuangan
Al-Ghazali menunjukkan karakter yang khas, mengingat kentalnya nuansa filosofis
akibat pengaruh basis keilmuan tasawufnya. Namun, yang menarik dari pandangan
keuangannya adalah bahwa Al-Ghazali sama sekali tidak terjebak pada dataran filosofis,
melainkan menunjukkan perpaduan yang serasi antara kondisi rill yang terjadi di
masyarakat dengan nilai-nilai filosofis tersebut disertai dengan argumentasi
yang logis dan jernih.
Oleh karena itu, agar pandangan keuangan Al-Ghazali
tertata rapi sehingga menjadi konsep yang mapan, tulisan singkat ini berusaha
menggambarkan secara utuh seputar pandangan keuangan dia untuk kemudian dikaji
dalam perspektif sistem ekonomi Islam.
Konsep uang
Dalam karya monumentalnya, Ihya’ Ulum ad-Din, al-Ghazali
mendefinisikan bahwa uang adalah barang atau benda yang berfungsi sebagai
sarana untuk mendapatkan barang lain. Benda tersebut dianggap tidak mempunyai
nilai sebagai barang (nilai intrinsik). Oleh karenanya, ia mengibaratkan uang
sebagai cermin yang tidak mempunyai warna sendiri tapi mampu merefleksikan
semua jenis warna.
Merujuk pada kriteria tersebut, dalam soal pendefinisian
uang, dia tidak hanya menekankan pada aspek fungsi uang.Definisi yang demikian
ini lebih sempurna dibandingkan dengan batasan-batasan yang dikemukakan
kebanyakan ekonom konvensional yang lebih mendefinisikan uang hanya sebatas
pada fungsi yang melekat pada uang itu sendiri.
Oleh karena uang menurut Al-Ghazali hanya sebagai standar
harga barang atau benda maka uang tidak memiliki nilai intrinsik.Atau lebih
tepatnya nilai intrinsik suatu mata uang yang ditunjukkan oleh real
existence-nya dianggap tidak pernah ada.Anggapan Al-Ghazali bahwa uang tidak
memiliki nilai intrinsik ini pada akhirnya terkait dengan permasalahan seputar
permintaan terhadap uang, riba, dan jual beli mata uang.
Pertama, larangan menimbun uang (money hoarding).Dalam
konsep Islam, uang adalah benda publik yang memiliki peran signifikan dalam
perekonomian masyarakat. Karena itu, ketika uang ditarik dari sirkulasinya, akan
hilang fungsi penting di dalamnya. Untuk itu, praktik menimbun uang dalam Islam
dilarang keras sebab akan berdampak pada instabilitas perekonomian suatu
masyarakat.
Menurut Al-Ghazali alasan dasar pelarangan menimbun uang
karena tindakan tersebut akan menghilangkan fungsi yang melekat pada uang itu.
Sebagaimana disebutkannya, tujuan dibuat uang adalah agar beredar di masyarakat
sebagai sarana transaksi dan bukan untuk dimonopoli oleh golongan
tertentu.Bahkan, dampak terburuk dari praktik menimbun uang adalah inflasi.
Dalam hal ini teori ekonomi menjelaskan bahwa antara
jumlah uang yang beredar dan jumlah barang yang tersedia mempunyai hubungan
erat sekaligus berbanding terbalik. Jika jumlah uang beredar melebihi jumlah
barang yang tersedia, akan terjadi inflasi.
Sebaliknya, jika jumlah uang yang beredar lebih sedikit
dari barang yang tersedia maka akan terjadi deflasi. Keduanya sama-sama
penyakit ekonomi yang harus dihindari sehingga antara jumlah uang beredar
dengan barang yang tersedia selalu seimbang di pasar.
Kedua, problematika riba. Secara sederhana riba adalah
tambahan atas modal pokok yang diperoleh dengan cara yang batil. Secara
eksplisit larangan riba terdapat dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat 275,
278-279, Ar- Rum 29, An-Nisa’ 160-161, dan Ali Imran 130.Alasan mendasar
Al-Ghazali dalam mengharamkan riba yang terkait dengan uang adalah didasarkan
pada motif dicetaknya uang itu sendiri, yakni hanya sebagai alat tukar dan
standar nilai barang semata, bukan sebagai komoditas. Karena itu, perbuatan
riba dengan cara tukar-menukar uang yang sejenis adalah tindakan yang keluar
dari tujuan awal penciptaan uang dan dilarang oleh agama.
Ketiga, jual beli mata uang.Salah satu hal yang termasuk
dalam kategori riba adalah jual beli mata uang.Dalam hal ini, Al-Ghazali
melarang praktik yang demikian ini. Baginya, jika praktik jual beli mata uang
diperbolehkan maka sama saja dengan membiarkan orang lain melakukan praktik
penimbunan uang yang akan berakibat pada kelangkaan uang dalam masyarakat.
Karena diperjualbelikan, uang hanya akan beredar pada kalangan tertentu, yaitu
orang-orang kaya. Ini tindakan yang sangat zalim.
Demikian sekelumit pandangan keuangan Al-Ghazali yang
sarat dengan semangat kemanusiaan universal serta etika bisnis Islami. Meskipun
demikian untuk menjadi konsep yang mapan dan sempurna, pemikiran keuangan
Al-Ghazali yang masih berserakan tersebut memerlukan kerja keras dari para
pewarisnya untuk kemudian merekonstruksi ulang secara sistematis dan logis.
PEMIKIRAN
EKONOMI AL GHAZALI
Terkadang
penulis menganggap tidak perlu (lagi) untuk mnyebutkan tentang waktu yang tepat
dalam mendefinisikan masa dalam kehidupan Ghazali, selama tema bahasan
dalam tulisan ini hanya bersifat untuk mengkaji tentang seputar pemikiran
beliau. Akan tetapi, kami masih tetap memiliki pandangan lain untuk memberikan
sedikit perhatian tentang hal tersebut (masa kehidupan beliau). Sebab,
bagaimanapun juga unsur waktu itu bisa memberikan penjelasan terhadap penilaian
dari sisi ide dan atau pemikiran tentang figur kita ini Yakni Imam Al-Ghazali).
Abū
Hamid al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 Hijrah di desa Ghazalah, di pinggir kota Tus, yang terletak pada hari ini di bahagian
timur laut negara Iran, berdekatan dengan kota Mashhad, ibu kota wilayah Kahorasan. Karena ayahnya penjual benang, ia diberi
nama panggilan Ghazali, yang dalam arti bahasa Arab berarti “pembuat benang”. Abu
Hamid Al-Ghazali terkenal di Barat sebagai Al-Ghazel, merupakan salah satu
pemikir besar Islam.
Ayah
Imam Al Ghazali sendiri adalah seorang fakir yang shalih.Beliau tidak mau makan
kecuali dari karya tangannya (hasil kerjanya) sendiri, yakni dengan bekerja
memintal benang.Di waktu kosong (tidak sedang bekerja), beliau suka mengaji
kesalah seorang ulama dan duduk bersamanya.Lalu memberikan pelayanan kepadanya
dan bersungguh-sungguh untuk memperbaiki hubungan dengannya serta berinfak
kepada ulama tersebut semampunya.Beliau apabila mendengar nasihat dan wejangan
dari para ulama khususnya ulama yang biasa beliau kungjungi selalu menangis dan
berdoa kepada Allah; agar anak beliau dijadikan oleh Allah sebagai orang alim
yang bisa memberikan ceramah (berdakwah).
Hanya
saja, kehendak Allah tidak memberinya kesempatan untuk menyaksikan apa yang
menjadi harapannya itu. Namun demikian, harapannya telah terkabulkan dan doanya
juga diterima oleh Allah.Sungguh beliau meninggal dunia di saat Abu Hamid dalam
keadaan masih sangat belia.Sedangkan ibu dari Hujjatul Islam (Imam Al Ghazali) ini,
sejarah sendiri tidak memberikan keterangan dan takdir telah membuatnya tidak
dikenal masa. Akan tetapi, beliau (sang Ibu) menyaksikan apa yang tidak
disaksikan oleh suaminya (ayah Imam Al Ghazali) ketika anaknya menjadi matahari
dunia yang terbit dari ufuk kejayaan dan keagungannya, serta sang anak kala itu
menduduki posisi yang terhormat di bidang ilmu pengetahuan.
Sejak
muda, Imam Al-Ghazali sangat antusias terhadap ilmu pengetahuan. Ia
pertama-tama belajar bahasa Arab dan fiqh di kota Tus kepada seorang ‘alim yang bernama
asy-Syaikh Ahmad ibn Muhammad ar-Radhakani, kemudian Dia juga telah mempelajari
ilmu nahwu dan ilmu hisab, serta telah berjaya menghafal isi al-Quran, sedangkan adiknya yang bernama Ahmad itu,
sejak masa mudanya lagi sudah mula cenderung kepada ilmu tasawuf. Kemudian Dia pergi ke kota Jurjan untuk belajar dasar-dasar Ushul
Fiqih. Setelah kembali ke kota Tus selama beberapa waktu, ia pergi ke Naisabur
untuk melanjutkan rihlah ilmiahnya. Di kota ini, Imam Al-Ghazali belajar kepada
Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali al-Juwaini, sampai yang terakhir ini wafat pada
tahun 478 H (1085 M).
Murid
Juawaini ini pada masa kecilnya belajar ilmu fiqih, sekalipun tidak mendalam di
kotanya; yaitu di Thus, kepada seorang guru bernama Ahmad bin Muhammad Ar
Radzkani Ath Thusi. Di tanah Thus ini, guru tersebut merupakan guru permulaan
bagi Imam Al Ghazali (Ustad Ridha’, Abu
Hamid Al Ghazali, hlm.6). Adapun guru yang utama bagi sang Imam di
wilayah Thus adalah Yusuf An Nasaj yang gemar dengan ilmu tasawuf dan mau
menjalaninya. Yang kemudian ia kenal sebagai Imam Al Haramain.
SITUASI
POLITIK
Sungguh
persengketaan agama di atas ufuk kota itu pada masa kehidupan Al Ghazali masih
beterbangan. Yang mana kesemuanya itu disebabkan oleh junlah masyarakat beragam
Kristen di sana juga banyak. Begitu pula dengan pengikut aliran (madzhab) Syi’ah dari
kelompok kaum Muslimin yang juga tumbuh subur di sana (Dr. Zuwairi, Hayatul AL Ghazali).
Para ulama saat itu (yakni pada masa hidupnya Iman Al Ghazali) cenderung untuk
serius di dalam menuntut ilmu.Hingga pada saat itu terdapat gerakan ilmiah yang
sangat radikal dan berkelanjutan.Hanya saja, sebagian dari mereka menuntut ilmu
bukan atas dasar ingin mendapatkan ilmu tersebut.Akan tetapi, sengaja hal itu
dilakukan sabagai usaha untuk mendekatkan diri kepada para pemimpin
(penguasa).Oleh karena itu, mereka terlihat sangat serius di dalam menuntut
ilmu, hingga membuat hati para elit
condong dan merasa senang kepada mereka. Walaupun tujuan mereka dalam menambah
ilmu pengetahuan ini lebih di dasarkan pada usaha untuk meraih kedudukan,
ketenaran dan nama harum; kecuali orang-orang yang mendapatkan pemeliharaan
dari Allah SWT.
Ketika
Imam Al Ghazali berkunjung ke Baghdad, ibu kota Daulah Abbasiyah, dan bertemu
dengan Wazir Nizham al Mulk. Darinya, Imam Al Ghazali mendapat penghormatan dan
penghargaan yang besar.Pada tahun 483 H (1090 M), Al Ghazali diangkat menjadi
guru di Madrasah Nizhamiyah.Pekerjaannya ini dilaksanakan dengan sangat
berhasil, sehingga para ilmuan pada masa itu menjadikannya sebagai referensi
utama.
Dalam
waktu yang sama, para elit
itu membutuhkan untuk menjalin persahabatan dan guna mendapat pertolongan dari
para ulama. Sebab pada saat itu agama merupakan sarana utama untuk mendirikan
istana r aja
(kingdom) atau
untuk menghancurkannya. Perkumpulan elit
politik dengan para ulama tersebut dimaksudkan agar tujuan mereka bisa
diselubungi dengan agama, hingga orang-orang awam akan menganggap, bahwa mereka
terhindar dari kerakusan yang bersifat pribadi. Sungguh elit politik telah
mengetahui hal itu, dan bagaimanakah pengaruh agama terhadap masyarakat awam
serta kaum intelektual. Mereka lebih cenderung menerima ajakan agama daripada
segala motivasi yang lain.
Oleh karena itu, kaum Salajiqah (penguasa yang
tengah memimpin pada saat itu) mendirikan beberapa Madrasah di Baghdad,
Naisabur, untuk mempelajari beberapa pedoman dasar Ahlu Sunnah. Nizam al Mulk yang memiliki
jasa terbesar dalam membangun Madrasah diisukan dengan berita yang miring,
serta dilaporkan kepada Syah (raja), seperti yang dikutip oleh Dr Zaki Mubarok
dalam kitab AL Akhlaq dikatakan: “Bahwa sesungguhnya harta yang dipersiapkan
oleh Nizam al Mulk untuk membangun Madrasah (sekolah dimaksud) hampir menyamai
dengan dana yang digunakan bagi tentara yang benderanya dipagari dengan symbol Al Qusthaniyah
(Konstantinopel).”. hingga Nizam al Mulk harus menjawab kepada raja:
“Sesungguhnya aku menyediakan tentara untukmu yang boleh disebut dengan tentara
malam. Dimana apabila tentaramu telah tidur di malam hari, maka tentara malam
ini akan segera melakukan shalat dengan berdiri di hadapan Rabbnya, lalu mereka
mencucurkan air mata seraya berdoa dengan lidah mendoakan engkau dan juga
kepada bala tentaramu. Engkau dan tentaramu berada di bawah perlindungan
mereka.Dengannya engkau bisa hidup tentram, dan dengan doa mereka engkau bisa
bermalam secara nyenyek, serta dengan berkah yang mereka mintakan engkau diberi
hujan dan juga diberi rizeki”.
Antara ulama dan penguasa terdapat hubungan
yang erat, karena terdorong untuk menghadapi satu musuh secara bersama; yang
itu membuat mereka tidur tidak nyenyak dan membuat bingung mereka di waktu
istirahat.Juga mengancam agama dan Negara mereka.Musuh yang dimaksud adalah
kaum Mu’tazilah dan ahli falsafah.Tidak heran apabila para penguasa serta ulama
selalu mengadakan perlawanan terhadap ahli falsafah dan Mu’tazilah.Penguasa dan
ulama selalu mengancam para ahli falsafah dan kaum Mu’tazilah dengan pedang,
yang mana kemudian dibalas oleh ahli falsafah dan kaum Mu’tazilah dengan
perkataan yang bersifat penghinaan.Tiada satu pun dari kalangan ulama yang
memfokuskan perhatiannya untuk menyerang mereka dengan akal pikiran yang netral
dan kritikan yang obyektif serta berani.
Tindakan
penyerangan yang berasal dari kalangan penguasa dan ulama terhadap kaum
intelektual yang ahli falsafah ini sempat menimbulkan suatu opini, bahwa mereka
(para ahli falsafah) adalah kelompok kafir dan Zindiq.Lalu predikat tesebut
juga dilontarkan oleh penguasa kepada orang-orang yang dikehendaki dari
kalangan ulama dan para peneliti.
Oleh
karena itu, pada tahun 488 H (1095 M), Imam Al Ghazali meninggalkan Baghdad dan
pergi ke Syiria untuk merenung, membaca, dan menulis selama kurang lebih 2
tahun. Kemudian, ia pindah ke Palestina untuk melakukan aktivitas yang sama
dengan mengambil tempat baitul Maqdis. Setelah menunaikan ibadah haji dan
menetap beberapa waktu di kota Iskandariah, Mesir, Imam Al Ghazali kembali ke
tempat kelahirannya, Tus, pada tahun 499 H (1105 M) untuk melanjutkan
aktivitasnya, berkhalwat dan beribadah. Proses pengasingannya tersebut berlangsung
selama 12 tahun dan, dalam masa ini, ia banyak menghasilkan berbagai karyanya
yang terkenal, seperti Kitab ‘Ihya’
Ulumuddin”. Pada tahun yang sama, atas desakan penguasa pada masa
itu, yaitu wazir Fakhr al Mulk, Imam al Ghazali kembali mengajar di Madrasah
Nizhamiyyah di Naisabur, akan tetapi, pekerjaannya itu hanya berlangsung dua
tahun. Ia kembali lagi ke kota Tus untuk mendirikan sebuah madrasah bagi para fuquha dan mutashawwifin. Imam al
Ghazali memilih kota ini sebagai tempat menghabiskan waktu dan energinya untuk
menyebarkan ilmu pengetahuan, hingga meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir 505
H (19 Desember 1111 M).
Inilah
gambaran singkat tentang kondisi ilmiah dan politik di masa Imam Al Ghazali,
dan kita lihat kondisi ini sangat berpengaruh kepada diri sang Imam.
SITUASI
EKONOMI
Kita ketahui bersama
bahwa Imam al Ghazali hidup pada masa pemerintahan daulah Abasiyah, persisnya
pada masa dinasti Salajikah (saljuk), yang mana pada masa pemerintahan daulah
Abasiyah Islam telah mencapai masa puncak keemasannya. Kemajuan pada bidang
politik, ekonomi, dan pengetahuan yang luar biasa, yang bisa dikatakan
kemajuannya tidak pernah ada yang menandingi oleh kerajaan manapun di dunia
ini.Jadi bisa dikatakan kondisi perekonomi pada masa Imam al Ghazali sangat
baik dan seimbang.
Dikatakan
baik dan seimbang bukan tidak ada celah dan kelemahan dalam perekonomian barter
yang mana terjadi ketidak sesuaian keinginan antara dua pihak. Lebih jauh Imam
al Ghazali mengatakan bahwa untuk mewujudkan perekonomian barter, seseorang
memerlukan usaha yang keras. Pelaku ekonomi barter harus mencari seseorang yang
mempunyai keinginan yang sama dengannya. Para pelaku ekonomi barter tersebut
juga akan mendapatkan kesukaran dalam menentukan harga, khususnya ketika terjadi
keragaman barang dagangan, pertambahan produksi, dan perbedaan kebutuhan. Di
sinilah uang dibutuhkan sebagai ukuran nilai suatu barang, sekalipun dalam
perekonomian barter. Dengan demikian, dalam pandangan al Ghazali, uang hanya
berfungsi sebagai satuan hitung dan alat tukar.Ia mengatakan bahwa zat uang itu
sendiri tidak dapat memberikan manfaat. Dan ini berarti bahwa uang bukan
merupakan alat penyimpan kekayaan.
FUNGSI
KESEJAHTERAAN SOSIAL
Al Ghazali yang
menyatakan bahwa kebutuhan hidup manusia itu terdiri dari tiga, kebutuhan
primer (darruriyyah),
sekunder (hajiat),
dan kebutuhan mewah (takhsiniyyat).
Teori hirarki kebutuhan ini kemudian ‘diambil’ oleh William Nassau Senior yang
menyatakan bahwa kebutuhan manusia itu terdiri dari kebutuhan dasar (necessity),
sekunder (decency), dan kebutuhan tertier (luxury). Al Ghazali juga menyatakan
tentang tujuan utama dari penerepan syariah adalah masalah religi atau agama,
kehidupan, pemikiran, keturunan, dan harta kekayaan yang bersangkutan dengan
masalah ekonomi.
Menurut
Mustafa Anas Zarqa, Imam Al-Ghazali merupakan cendekiawan muslim pertama yang
merumuskan konsep fungsi kesejahteraan sosial. Dalam membahas berbagai
persoalan manusia, termasuk aktivitas ekonomi, Imam al-Ghazali selalu mengacu
pada konsep maslahah (kesejahteraan) sebagai tema sentralnya. Menurutnya,
maslahah adalah memelihara tujuan syariah yang terletak pada perlindungan agama
(din), jiwa (nafs), akal (aql), keturunan (nasl), dan harta (mal).
Pada
makalah ini penulis masih kurang akan reverensi tentang kondisi ekonomi pada
masa Al Ghazali, jadi penulis lebih banyak mengambil dari buku Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
yang kami baca dan pahami untuk penulis sampaikan kembali dalam bahasa yang
lebih mudah dipahami.
Dalam
hal ini, melalui serangkaian penelitiannya terhadap berbagai ajaran Islam yang
terdapat di dalam Al Qur’an dan hadis, Imam al Ghazali menyimpulkan bahwa
utilitas sosial dalam Islam dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a.
Dharuriah,
terdiri dari seluruh aktivitas dan hal-hal yang bersifat esensial untuk
memelihara kelima prinsip tersebut di atas.
b. Hajah, terdiri dari seluruh aktivitas dan hal-hal
yang tidak vital bagi pemeliharaan kelima prinsip di atas, tetapi dibutuhkan
untuk meringankan dan menghilangkan rintangan dan kesukaran hidup.
c.
Tahsimiah atau Tazyinat.Secara khusus,
kategori ini meliputi persoalan-persoalan yang tidak menghilangkan dan
mengurangi kesulitan, tetapi melengkapi, menerangai, dan menghiasi hidup.
Adiwarman
A. Karim dalam bukunya Pemikiran
Ekonomi Seorang Skolastik Arab,2002) dikatakan; Walaupun
keselamatan merupakan tujuan akhir, Imam al Ghazali tidak ingin bila pencarian
keselamatan ini sampai mengakibatkan berbagai kewajiban duniawi seseorang.
Bahkan, pencarian berbagai aktivitas ekonomi tidak hanya diinginkan, tetapi
merupakan keharusan bila ingin mencapai keselamatan.Ia menitikberatkan jalan
tengah dan kebenaran niat seseorang dalam setiap tindakan. Bila niatnya sesuai
dengan aturan ilahi, aktivitas ekonomi serupa dengan ibadah.
Imam
al Ghazali memandang perkembangan ekonomi sebagai bagian dari berbagai tugas
kewajiban sosial (fardu kifayah) yang sudah ditetapkan Allah swt: jika hal ini
tidak dipenuhi, kehidupan dunia akan runtuh dan kehidupan umat manusia akan
binasa. Lebih jauh, ia mengidentifikasi tiga alasan mengapa seseoarang harus
melakukan aktivitas ekonomi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
bersangkutan, mensejahterakan keluarga, dan membantu orang lain yang
membutuhkan.
Permintaan,
Penawaran, Harga, Laba
Bayangkan
jika aktivitas perdagangan hanya mengandalkan pola barter atau kehidupan
ekonomi terlalu banyak diatur penguasa. Kemungkinan tidak berkembang dan
terjadinya berbagai distorsi harga tentu sangat besar.Karena itulah pemikiran
tentang perlunya aktivitas perdagangan yang ditentukan oleh hukum permintaan
dan penawaran-jauh sebelum munculnya pemikiran ekonomi modern-telah diungkapkan
oleh para pemikir Islam.
Imam
al Ghazali menyatakan secara jelas tentang mutualitas dalam pertukaran ekonomi
yang mengharuskan spesialisasi dan pembagian kerja menurut daerah dan sumber
daya.Ia menyadari bahwa aktivitas perdagangan memberikan nilai tambah terhadap
barang-barang kerena perdagangan membuat barang-barang dapat dijangkau pada
waktu dan tempat yang tepat. Di dorong oleh kepentingan pribadi orang-orang,
pertukaran menimbulkan perantara-perantara yang mencari laba, yaitu
perdagangan. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa perdagangan merupakan hal yang
esensial bagi berfungsinya perekonomian progresif dengan baik. Imam al Ghazali
juga menyebutkan perlunya rute perdagangan yang terjamin dan aman.Negara harus
memberikan perlindungan sehingga pasar dapat meluas dan perekonomian dapat
tumbuh
Salah
satunya adalah pandangan Abu Hamid al Ghazali (1058-1111). Mungkin cukup mengejutkan
jika dia menyajikan penjabaran yang rinci akan peranan aktivitas perdagangan
dan timbulnya pasar yang harganya bergerak sesuai kekuatan permintaan dan
penawaran. Maklum, ia dikenal sebagai ahli tasawuf.
Bagi
al Ghazali pasar merupakan bagian dari “keteraturan alami”. Secara rinci, dari
juga menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar. Al Ghazali menyatakan:
Dapat saja
petani hidup dimana alat-alat pertanian tidak tersedia, sebaliknya pandai besi
dan tukang kayu hidup dimana lahan pertanian tida ada. Namun secara alami,
mereka akan saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Dapat pula terjadi tukang
kayu membutuhkan makan, tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut atau
sebaliknya.Keadaan ini menimbulkan masalah. Oleh karena itu, secara alami pula
orang akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat di satu
pihak dan tempat penyimpanan hasil sesuai dengan kebutuhan masing-masing
sehingga terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu dan pande besi yang tidak
dapat langsung melakukan barter juga terdorong pergi ke pasar ini. Bila di
pasar juga tidak ditemukan orang yang melakukan barter, ia akan menjual pada
pedagang dengan harga yang relative murah untuk kemudian disimpan sebagai
persediaan. Pedagang kemudian menjualnya dengan suatu tingkat keuntungan.Hal
ini berlaku untuk setiap jenis barang.
Imam Ghazali juga
secara eksplisit menjelaskan perdagangan regional. Kata Ghazali:
“Selanjutnya
praktek-praktek ini terjadi di berbagai kota dan negara. Orang-orang melakukan
perjalanan ke berbagai tempat untuk mendapatkan alat-alat makanan dan
membawanya ke tempat lain. Urusan ekonomi orang akhirnya diorganisasikan ke
kota-kota di mana tidak seluruh makanan dibutuhkan.Keadaan inilah yang pada
giliran menimbulkan kebutuhan alat transportasi.Terciptalah kelas pedagang
regional dalam masyarakat.Motifnya tentu saja mencari keuntungan. Para pedagang
ini bekerja keras memenuhi kebutuhan orang lain dan mendapat keuntungan dan
makan oleh orang lain juga. (Ihya, III:227).
Jelaslah
Imam Ghazali menyadari kesulitan sistem barter, perlunya spesialisasi dan
pembagian kerja menurut regional dan sumber daya setempat.Ia juga menyadari
pentingnya perdagangan untuk memberikan nilai tambah dengan menyediakannya pada
waktu dan tempat di mana dibutuhkan
Al ghazali juga
memperkenal teori permintaan dan penawaran; jika petani tidak mendapatkan
pembeli, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah, dan harga dapat
diturunkan dengan menambah jumlah barang di pasar. Ghazali juga memperkenalkan
elastisitas permintaan, ia mengidentifikasi permintaan produk makanan adalah
inelastis, karena makanan adalah kebutuhan pokok. Oleh karena dalam perdagangan
makanan motif mencari keuntungan yang tinggi harus diminimalisir, jika ingin
mendapatkan keuntungan tinggi dari perdagangan, selayaknya dicari barang-barang
yang bukan merupakan kebutuhan pokok.
Imam
Ghazali dan juga para pemikir pada zamannya ketika membicarakan harga biasanya
langsung mengaitkannya dengan keuntungan.Keuntungan belum secara jelas
dikaitkan dengan pendapatan dan biaya. Bagi Ghazali keuntungan adalah
kompensasi dari kepayahan perjalanan, resiko bisnis, dan ancaman keselamatan
diri si pedagang (Ihya Ulumuddin,IV,110). Walaupun ia tidak setuju dengan
keuntungan yang berlebih untuk menjadi motivasi pedagang. Bagi Ghazali
keuntunganlah yang menjadi motivasi pedagang. Namun bagi Ghazali keuntungan
sesungguhnya adalah keuntungan di akhirat kelak (Ihya Ulumuddin, II:75-6, 84).
Pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan sedikit pandangan akan keterbatasan
mekanisme pasar dalam Permintaan, Penawaran, Harga, dan Laba. Pada
mekanisme pasar ini telah menjadi sebuah mekanisme resmi pembunuh manusia
apabila tidak ada pemegang kebijakan harga, dalam hal ini yang penulis maksud
adalah pemerintah.Contoh ini memang ekstrem, tetapi sering hadir di masyarakat
dalam berbagai variasi. Oleh karena itu, menurut penulis sebebarnya Islam
sudah memberikan arahan kepada pemeluknya agar memperhatikan kondisi
sosio-ekonomi tempat ia tinggal. Rasulullah saw bersabda, “Bukanlah orang yang beriman,
manakala ia tidur kekenyangan sementara tetangga sebelahnya kelaparan dan ia
tahu akan hal itu.” (HR Tabrani & Baihaqi).
Jelaslah
bahwa terdapat sejumlah segmen masyarakat yang tidak dapat ikut bermain dalam
pasar dan karenanya, tidak akan tersentuh oleh mekanisme ini lantaran tidak
punya uang untuk membayar harga. Mereka yang tidak mampu membayar harga,
merupakan korban dari keganasan pasar.
Oleh
karena itu, mekanisme pasar dan harga harus dilengkapi dengan intervensi
pemerintah yang bertujuan membantu dan memberdayakan segmen masyarakat yang
terpaksa tidak dapat berpartisipasi di dalamnya agar dapat hidup sejahtera
sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.
PAJAK
Menurut
Imam al Ghazali, apabila keadaan Negara sedang membutuhkan tentara untuk menjaga
dan melindungi wilayahnya dari segala macam ancaman, sementara perbendaharaan
Negara tidak mencukupi, pemerintah berhak memungut pajak dari rakyatnya yang
mampu. Dalam hal ini, ia mensyaratkan bahwa pemerintahan Negara itu merupakan
pemerintahan yang kredibel, kondisi keuangan Negara benar-benar dalam keadaan
kosong, dan kebijakan pajak ini hanya khusus dikenakan pada kondisi tersebut,
yakni untuk memenuhi kebutuhan tentara saja.
KESIMPULAN
Positioning
sistem ekonomi adalah usaha membandingkan perbedaan bentuk antara sistem
ekonomi yang satu dan lainnya.Hal ini merupakan masalah yang selalu menarik
untuk dikaji di tengah pergolakan ideologi di dunia saat ini.Dalam tulisan ini
penulis mencoba mengangkat perbedaan berdasarkan falsafah hidup, pandangan dan
kebijakan antar sistem ekonomi dengan mengangkat tema pokok yang selalu menjadi
fokus dari tiap sistem ekonomi.Meskipun saat ini masih terjadi dikotomis antara
sistem kapitalis dan sosialis, namun kita seharusnya memandang lebih luas dan
menyadari bahwa sistem ekonomi di dunia bukan hanya terdiri dari dua sistem
tersebut agar kita tidak terjebak dalam dua kutub dikotomis tersebut.
Salah
satu usaha untuk mencapai kebahagiaan dunia terutama memenuhi kebutuhan
materiil, manusia harus bekerja. Dalam Al Qur’an surat Al Jum’ah : 10 Allah
Swt. Memerintahkan kaum muslimin untuk bekerja di samping beribadah. Kaum
muslimin boleh memilih jenis pekerjaan apapun yang diinginkan sesuai bakat dan
minat masing-masing, sepanjang tidak mengandung unsur haram. Nilai-nilai
sosial keadilan, kebenaran, kejujuran, persaudaraan, haruslah tertanam pada
pelaku ekonomi kaum muslimin agar sesuai dengan nilai-nilai moral yang
merupakan prinsip dasar yang melandasi semua sikap dan tindakan.
Islam
mengatur bentuk-bentuk transaksi seperti jual beli, hutang, sirkah, dan
lain-lain.Hal ini menunjukkan sifat agama Islam yang sempurna, sampai-sampai
masalah yang menjadi kajian ekonomi mikro sekalipun sudah dibahas dalam Al
Qur’an dan Hadist.Disinilah kewajiban peran pemerintah untuk mengatur
berlangsungnya kehidupan bermasyarakat agar terjadi keselarasan dalam mencapai
tujuan bersama. Salah satu instrumen untuk mengatur ekonomi makro adalah dengan
kebijakan fiskal .Islam memiliki pos-pos baik pemasukan ataupun pengeluaran
keuangan negara yang sifatnya khas seperti zakat, fa’i, ghanimah, kharaj, kums,
dan lain-lain, di samping adanya dharibah (pajak temporal) yang merupakan hak
ijtihad pemerintah.Selain dengan sistem fiskal pengaturan ekonomi makro dalam
Islam adalah dengan sistem moneter.Dalam sejarah Islam sistem moneter Islam
adalah standar emas dengan dinar dan dirham.Stabilitas moneter dengan dinar dan
dirham sudah teruji dalam sejarah. Dalam Islam juga diatur masalah perdagangan
internasional dengan non tarif (pasar bebas) seperti yang dilakukan Nabi
Mohammad Saw dan pengenaan tarif ekpor impor sebagimana yang dilakukan Khalifah
Umar bin Kattab, embargo ekonomi sebagai alat politik juga pernah dilakukan
Rasulullah.
Masalah
ekonomi sebagai masalah muamalat selalu berkembang mengikuti perkembangan
zaman.Bentuk-bentuk kelembagaan ekonomi dan jenis-jenis transaksi makin
beragam, berbeda dengan situasi zaman Rasulullah Saw.Untuk mengatasi hal ini
Allah Swt memberikan kebebasan untuk berijtihad terhadap masalah ekonomi yang
secara zahir tidak diatur dalam Al Qur’an dan Hadist.Pemerintah boleh
mengembangkan kebijakan sesuai tuntutan situasi dan kondisi, misalnya program
kemitraan, bantuan modal untuk pengusaha kecil, pendidikan murah bagi keluarga
miskin, dan sebagainya.
thanks infonya.. benar2 membantu mbak
BalasHapus